6 Hal yang Harus Dilakukan di Luang Prabang

“Berapa hari enaknya di Luang Prabang” tanya saya. 

“Dua-tiga hari cukuplah”, katanya. “Bosen ntar lo kelamaan di sana.”

Dan…..saya menyesal mengikuti saran kawan saya itu karena ternyata Luang Prabang jauh lebih menyenangkan dibanding yang diceritakan kawan saya itu.

Ya, ternyata di Luang Prabang punya banyak hal yang dapat dilihat, terutama bagi pencinta arsitektur dan budaya seperti saya. Tiga hari rasanya kurang, banyak tempat yang ternyata belum saya datangi, banyak hal yang belum saya lakukan. Apa saja yang harus dilakukan di Luang Prabang?

  1. Melihat Alm Giving

Almgiving adalah tradisi turun temurun yang dilakukan penduduk lokal untuk memberi sedekah kepada para biksu yang ada di sana. Pagi-pagi, para biksu berbaju oranye ini akan keluar dari wat (kuil)nya, berjalan melewati jalan-jalan di Luang Prabang, dan kemudian kembali ke kuilnya untuk makan bersama. Karena kuil di sini jumlahnya puluhan, biksu yang keluar jumlahnya cukup banyak sehingga menjadi daya tarik utama di tempat ini.

Alm Giving Ceremony bisa dilihat di beberapa tempat di Luang Prabang, salah satunya Sakkaline Road. Banyak yang menganjurkan datang ke sini karena wat (kuil) di jalan ini jumlahnya cukup banyak. Salah satunya adalah wat yang paling besar, Wat Xiengthong.

Lebih lengkap tentang Alm Giving bisa dibaca di tulisan saya ini

DSCF7953

2. Berkunjung ke Kuil 

Luang Prabang dikenal sebagai Kota Seribu Kuil karena banyaknya kuil yang ada di sini. Rata-rata, kuil ini bukan hanya sekadar tempat peribadatan, namun juga sebagai pesantren para biksu. Jika tak sempat mengunjungi semau kuil, karena waktu yang mepet ataupun memang tak ingin bosan melihat kuil, ini dua kuil yang saya sarankan untuk dikunjungi.

Haw Pha Bang

Haw Pha Bang terletak di Jalan Sisavang Vong, di dalam kompleks Royal Palace yang sekarang menjadi Museum Nasional.  Dari luar saja, bangunannya sudah sangat menarik, berwarna keemasan dengan atap bertumpuk-tumpuk khas Laos.  Bagian dalamnya konon juga menarik, namun saya tidak masuk ke sana.

Untuk masuk ke sini, dikenakan biaya sebesar 20.000 kip (termasuk tiket masuk ke dalam Museum). Kalau tak mau kena biaya, datanglah pagi-pagi sebelum pukul 07.00, karena biasanya yang jaga tiket belum datang :D. Namun ya tentu saja, tanpa tiket, bagian dalam kuil dan museum tak bisa dimasuki.

DSCF7700
Haw Pha Bang

Wat Xieng Thong

Wat Xieng Thong merupakan salah satu kuil Buddha yang tertua dan terindah di Luang Prabang, karena tepi atap berjenjangnya yang merendah dengan dekorasi dinding interior dan eksterior yang sangat artistik. Tidak salah memang jika Wat Xieng Thong, yang berarti Kuil Kota Emas, dijadikan sebagai referensi kompleks peribadatan dengan arsitektur klasik gaya Luang Prabang.

Kompleks kuil Buddha yang cantik dan terletak di sisi pertemuan Sungai Mekong dan Sungai Nam Khan ini, dibangun sekitar tahun 1559 – 1560 oleh Raja Laos yang bernama Setthathirath dan merupakan kuil tempat semua Raja Laos ditahbiskan. Kedekatan Wat Xieng Thong dengan kalangan istana terus berlangsung karena hingga tahun 1975 kuil ini tetap dikelola oleh keluarga istana.

Untuk masuk ke kuil ini dikenakan biaya 20.000 kip.

DSCF7972.JPG

Selain dua kuil ini, masih banyak kuil lain di Luang Prabang yang bisa dimasuki. Rasanya, setiap belokan ada kuil. Kebanyakan kuil kecil boleh dimasuki tanpa biaya.

Tip: seperti halnya memasuki rumah ibadah, pengunjung yang masuk kuil diharuskan memakai pakaian yang sopan. Untuk wanita, diharuskan menutup kakinya dengan rok panjang ataupun celana. Jika tak memiliki rok panjang, bisa meminjam sarung di kuil dengan harga sekitar 500kip

DSCF7680.JPG
Saya lupa apa nama kuil ini. 😀

3. Berburu Souvenir di Night Market

Night market Luang Prabang ini terdapat di jalan Savangvong Road, mulai dari The Royal Palace Museum hingga perempatan Kitsalat Road. Di siang hari, jalan ini dipakai untuk kendaraan umum, layaknya jalan biasa. Namun menjelang pukul 16.00, jalan ini akan ditutup untuk night market Luang Prabang .

Lebih lengkap tentang Luang Prabang night market bisa dibaca di tulisan saya ini

DSCF7534

4. Dinner di Pinggir Sungai

Di sepanjang sungai Mekong terdapat beberapa restoran yang dapat dinikmati. Biasanya, restoran ini penuh menjelang sunset hingga malam hari.  Ada beberapa restoran yang cukup terkenal di sini, antara lain restoran View Khem Khong yang dimiliki oleh pemilik hotel berkebangsaan Perancis, hotel yang saya tempati.  Karena menyajikan pork, saya di sini hanya minum dan makan mango sticky rice, sambil menemani kawan baru saya dan dua orang pasangan Prancis yang cinta mati dengan Indonesia. Harga yang ditawarkan lebih murah, jika dibandingkan yang ditawarkan restoran lain di jalan Sakkaline Road.

Di sebelah restoran ini, ada restoran halal andalan saya: Chennai Restoran. Restoran ini menyajikan makanan halal ala India. Harganya mulai dari 20.000kip.

Untuk yang suka bar, bisa mencoba Utopia Restaurant and Bar. Banyak backpacker yang nongkrong di sana. Saya sih nggak nyoba ke sana karena kesannya terlalu hippie dan hedon.

Selain dinner, hal yang menarik dicoba adalah cafe-cafe di sepanjang jalan Sakkaline Road. Di jalan ini memang terdapat banyak cafe, restoran, dan bar. Saya sebenarnya ingin mencoba nongkrong di salah satu cafe ini, namun ternyata harganya luar biasa mahal untuk ukuran kantong saya. Satu buah hot chocolate saja harganya sekitar 40.000 kip.  Katanya, kalau mau cafe yang lebih murah, harus mencari ke gang-gang dalam.(untuk melihat cafe yang rekomen bisa dicari di sini)

5. Mencicipi Youghurt yang Nikmat

Di Luang Prabang, banyak penjual lessi (jus yang dicampur yogurt). Lessi-nya bukan hanya lessi standar, namun dicampur dengan berbagai macam hal lain mulai dari nutella hingga oreo. Saya mencoba rasa banana skim yogurt plus oreo. Rasanya? Mantap!

DSCF7524

6. Cuci Mata dengan Bangunan yang Indah

Laos adalah negara bekas jajahan Prancis. Itu sebabnya, arsitektur di kota-kota di negara ini, terutama Luang Prabang, masih ada pengaruh Prancis. Percampuran budaya Indochina dan Perancis inilah yang menjadikan kota Luang Prabang memiliki bangunan yang menarik mata.

Selain wat-wat yang masih asli, di sepanjang jalan Sakkaline Road akan terlihat bangunan-bangunan khas China dengan lengkungan di ujung atap. Berdampingan dengan bangunan bergaya kolonial yang tinggi besar dengan jendela-jendela lebar.

dscf7781.jpg

Berburu Souvenir di Night Market Luang Prabang

Saya pencinta night market alias pasar malam. Jika singgah di satu kota dan ada night market-nya, sudah pasti saya akan datang berkali-kali ke sana. Di Luang Prabang, ada night market yang berlangsung setiap hari dari pukul 17.00-21.00.

Night market Luang Prabang ini terdapat di jalan Savangvong Road, mulai dari The Royal Palace Museum hingga perempatan Kitsalat Road. Di siang hari, jalan ini dipakai untuk kendaraan umum, layaknya jalan biasa. Namun menjelang pukul 16.00, jalan ini akan ditutup untuk night market Luang Prabang .

DSCF7534.JPG

Para pedagang di night market Luang Prabang ini sebenarnya sudah mulai menggelar lapaknya dari pukul 16.00, namun baru benar-benar ramai menjelang pukul 18.00, saat matahari mulai tenggelam.

Apa saja yang bisa ditemui di sini? Banyak. Mulai dari baju, tas, sepatu, celana, hingga souvenir yang bisa dibawa pulang. Kebanyakan sih motifnya mirip dengan Kamboja, Thailand dan Vietnam. Tadinya saya pikir, barang-barang ini diambil dari ketiga negara itu. Tapi ternyata, ketika esok harinya saya nyasar ke pasar betulan, saya melihat toko kain bermotif ketiga negara tersebut yang ramai didatangi para penjual. Kalau saya punya bagasi, pasti sudah saya borong itu kain.

Di night market Luang Prabang ini, saya tak tertarik dengan baju, celana, dan segala macamnya. Saya malah membeli 15 clutch indigo yang rasanya belum pernah saya lihat di negara lain. Ya, lima belas. Saya khilaf dan kalap…

DSCF7536.JPG
Salah satu stand makanan di night market
DSCF7551.JPG
Ini enak banget!
DSCF7564.JPG
all you can eat-nya Luang Prabang

Di night market Luang Prabang ini juga ada sebuah gang sempit di sebelah Wat Mai. Di situ, ada deretan penjual street food.  Bagi yang bisa makan apa saja, tempat ini adalah surga karena makanannya murah. All you can eat hanya 10.000-12.000kip, setengah harga nasi goreng yang saya makan di restoran halal depan hotel.  Saya sih ga coba, walaupun ada menu vegetarian, tapi kok rasanya hati ini ga yakin dengan kehalalannya yaa…

Di siang hari, gang senggol ini berubah menjadi sebuah pasar. Kalau punya waktu banyak, di sela-sela menikmati puluhan wat di sana, saya sarankan mampir ke sini. Berbeda dengan night market yang dipenuhi turis, pasar tradisional ini isinya kebanyakan penduduk lokal yang memang berniat belanja sehingga saya bisa melihat sisi sebenarnya dari Luang Prabang.

DSCF7733.JPG
Pasar tradisioanl Luang Prabang

Selain makanan tadi, di night market ini mudah banget ditemui penjual lessi (jus yang dicampur yogurt). Lessi-nya bukan hanya lessi standar, namun dicampur dengan berbagai macam hal lain mulai dari nutella hingga oreo. Saya mencoba rasa banana skim yogurt plus oreo. Rasanya? Mantap!

Berbeda dengan night marketnya yang hanya buka sampai pukul 21.00, tukang jus ini buka sampai tengah malam. Saya dan Angga, backpacker asal Indonesia yang tinggal di Perancis, nongkrong di sini hingga tengah malam. Sebenarnya, kami mau duduk cantik di cafe ala Perancis yang banyak tersebar di sana. Tapi apa daya, uang di kantong kami cuma cukup untuk beli jus!

dscf75241.jpg

 

TIP:

  • Kip bisa ditukar di money changer di bandara. Namun kalau tidak sempat, bisa ambil atm di sana.
  • Di sepanjang jalan Savangvong Road juga banyak terdapat money changer. Rate-nya mirip-mirip antara satu dengan yang lain.

Begini Cara Menuju Kota Luang Prabang dari Airport

“Berapa hari enaknya di Luang Prabang” tanya saya. 

“Dua-tiga hari cukuplah”, katanya. “Bosen ntar lo kelamaan di sana.”

Dan…..saya menyesal mengikuti saran kawan saya itu karena ternyata Luang Prabang jauh lebih menyenangkan dibanding yang diceritakan kawan saya itu.

DSCF7529

Saya memutuskan pergi ke Luang Prabang sebagai kado bagi diri saya sendiri di hari ulang tahun saya di bulan Juli lalu. Saya memilih Luang Prabang, dan mengabaikan Viantianne, karena beberapa alasan. Selain dana yang terbatas, Viantianne tak terlalu menarik minat saya. Lain halnya dengan Luang Prabang. Dari gambar yang saya lihat di internet saja, mata saya sudah tertambat dengan bangunan-bangunan ala Portugis yang menarik.

Saya tiba di Luang Prabang setelah menginap semalaman di KL. Persiapan yang minim, karena saya baru membeli tiket seminggu sebelum keberangkatan, membuat saya kebingungan ketika sampai di Luang Prabang International Airport. Bandara ini begitu kecil dan minim informasi. Saya bingung, mesti naik apa ke dari airport Luang Prabang ke penginapan saya yang ada di tengah kota. Untunglah, saya bertemu seorang backpacker asal Kolombia yang pernah tinggal di Indonesia untuk bekerja. Dia yang kemudian mengajak saya mencari angkutan bareng ke kota.

Untuk mencapai kota, ternyata tak susah. Begitu keluar dari pintu kedatangan, yang cuma satu-satunya, di pojok kanan akan ada counter taksi resmi. Tinggal beli tiket di sana. Untuk mencapai kota yang jaraknya kurang lebih 4km saja dari sini, biaya yang harus dikeluarkan sekitar 7USD. Biaya ini untuk sekali antar pertiga orang ke satu tujuan. Jadi kalau jalan sendiri, biayanya segitu. Kalau berdua, ya segitu juga, asalkan tujuannya sama. Karena itu, saya dan kawan baru saya itu memutuskan untuk bergabung saja dan berhenti di hotel kawan saya itu. Dari situ, saya tinggal jalan kaki ke hotel saya yang letaknya tak jauh dari situ.

Kalau tak mau pakai angkutan resmi sebenarnya bisa saja. Di luar aiport ada tuk-tuk yang bisa disewa dengan harga sekitar 25.000 kip (sekitar 40.000 ribu rupiah). Tapi saya belum pernah coba sih. Kalau beramai-ramai, bisa minta ke hostel untuk menjemput di aiport. Kata rombongan backpacker asal Malaysia yang bertemu saya di sana, harganya sekitar 100.000kip/mobil. Ada juga yang nekat jalan kaki karena jarak bandara Luang Prabang ke kota cuma 4km. Hmm….

Baca juga: Menyaksikan Sedekah Biksu

Saya tinggal di View Khem Khong Hotel di pinggir sungai Mekong. Hostel ini dimiliki oleh pria berkebangsaan Prancis (yang saya lupa namanya). Di depan hotel ada makanan halal (Chennai Restaurant) yang menyediakan makanan India. Harganya lumayan mahal, seporsi nasi goreng yang rasanya standar aja harganya mencapai 25.000 kip (40ribu). Tapi memang, makanan di Luang Prabang ini tergolong mahal untuk ukuran kantong saya.

Di sebelah Chennai Restoran ini ada restoran milik View Khem Khong Hotel. Lokasinya juga di pinggir sungai. Di sepanjang sungai ini memang berderet restoran yang menawarkan view sunset di sore hari.

Restoran View Khem Khong ini cukup terkenal karena lokasinya yang enak, harganya murah dibandingkan restoran lain di Laos, dan rasa yang enak (katanya). Tapi, karena tak berlabel halal, saya hanya berani minum jus kelapa plus sepiring mango sticky rice.  Jus kelapa itu adalah hadiah ulang tahun saya dari si pemilik hotel….*thanks to Angga, an indonesian scholarship student in France who spoke French to  the hotel owner. Bapake jadi tambah baik setelah itu.

DSCF8019.JPG

 

Baca juga: Berburu Souvenir di Night Market

Monks Alms Giving, Sedekah Para Biksu di Luang Prabang

Salah satu tujuan utama saya ke Luang Prabang adalah melihat upacara Monks Alms Giving alias sedekah kepada para biksu.

Jam 5.30 pagi. Matahari  bahkan belum nampak, namun saya sudah bangun dan bersiap-siap menuju Sakkaline Road,  jalan utama di Luang Prabang yang akan dilalui oleh para biksu di upacara alm giving.

Almgiving adalah tradisi turun temurun yang dilakukan penduduk lokal untuk memberi sedekah kepada para biksu yang ada di sana. Pagi-pagi, para biksu berbaju oranye ini akan keluar dari wat (kuil)nya, berjalan melewati jalan-jalan di Luang Prabang, dan kemudian kembali ke kuilnya untuk makan bersama. Karena kuil di sini jumlahnya puluhan, biksu yang keluar jumlahnya cukup banyak sehingga menjadi daya tarik utama di tempat ini.

Saya memilih Sakkaline Road karena menurut pemilik hotel, wat (kuil) di jalan ini jumlahnya cukup banyak. Salah satunya adalah wat yang paling besar, Wat Xiengthong. Katanya, karena wat ini terbesar, biksu yang akan keluar dari sini akan banyak.


Hanya bermodalkan minyak wangi tanpa mandi pagi, saya berjalan kaki menuju lokasi. Sebenarnya, dari hostel ke sana jaraknya hanya sekitar 500m. Dekat. Tapi di tengah jalan menuju Sakkaline Road, 3 buah anjing besar menghadang saya. Karena jiper berat, akhirnya saya mesti mencari jalan memutar yang jaraknya dua kali lipat dari seharusnya. Nasib…

Hujan deras plus jalan yang mesti memutar karena dihadang anjing membuat saya telat datang ke lokasi. Ceremony dilakukan tepat pukul 06.00, sementara saya sampai di situ pukul 06.15, padahal saya ingin lihat proses awalnya. Saya jadi tak puas sehingga esok paginya, saya kembali lagi ke sini.

dscf7607.jpg


Berbeda dengan kemarin, hari ini matahari cerah ceria. Tapi saya tetap membawa payung besar, bukan untuk jaga-jaga jika hujan turun, tapi untuk jaga-jaga kalau ada anjing besar lagi. Tapi hari ini, 3 anjing itu sedang tenang rupanya. Saya lewat, mereka diam saja.

Saya sampai di lokasi pukul 5.50, sepuluh menit sebelum waktu ceremony dimulai. Beberapa turis nampak sudah bersiap-siap untuk melihat acara. Di tengah jalan, tampak meja-meja kecil, di atasnya ada susunan keranjang dari bambu. Di dalam keranjang itu ada beberapa buah biskuit, makanan kecil dalam bungkus daun pisang. Rupanya, keranjang itu dijual kepada turis yang ingin memberi sedekah kepada para biksu.

Di trotoar, tampak beberapa penduduk lokal duduk dengan membawa keranjang. Di sebelahnya, berderet kursi-kursi plastik yang disediakan para agen tur untuk tamu mereka. Ya, turis juga bisa ikut serta dalam acara ini.

DSCF7922.JPG
Turis-turis yang menunggu para biksu lewat

Di sisi lain, di dalam wat, para biksu sudah bersiap-siap. Berbaris rapi di depan pintu gerbang, menunggu aba-aba untuk keluar. Tepat pukul 06.00, lonceng berbunyi, menandakan waktunya para biksu itu keluar.  Para biksu—tua dan muda, kecil dan besar–kemudian berbaris keluar. Bergabung dengan biksu-biksu dari kuil lain sehingga menciptakan barisan biksu yang tak terputus-putus. Luar biasa….

Sayangnya, menurut salah satu backpacker Polandia yang pernah ke sini sebelumnya, sekarang ini lebih banyak turis yang melakukan alm giving. Orang lokal hanya segelintir saja, membuat acara ini kurang bermakna bagi dia.

DSCF7915

dscf79531.jpg
Ada yang sadar kamera rupanya…