Akhirnya, Gue ke Lombok!!

Setahun yang lalu, AirAsia mengadakan promo nol rupiah untuk semua penerbangan domestik Indonesia. Ga tau mau ke mana, gue asal aja beli tiket ke Bali, dengan harga hanya 100.000 perak untuk pulang pergi. Hahaha…lebih mahal ongkos ke bandara kayaknya.

Nah, daripada ke Bali doang, gue ngajakin buat pergi aja ke Lombok, nyebrang dari Bali. Selain lebih murah, kita bisa dapet pengalaman yang lebih kan? Awalnya gue akan pergi ber-5, tapi seminggu menjelang hari H, dua temen gue mengundurkan diri dengan alasan ga boleh cuti. Yaah

Gempa di Bali

Airasia yang gue tumpangi mendarat di Bali sore hari. Karena itu, gue memutuskan menginap dulu di Bali semalem. Sebenernya bisa aja sih kalau mau langsung nyebrang dulu ke Lombok, tapi capek ah. Untung juga sih memutuskan tinggal semalem di Bali karena ternyata salah satu temen gue (yang dari Bandung) baru sampai di Bali sekitar jam 9.

Pas booking AA waktu itu, Tune Hotel juga lagi promo. Alhasil, gue bisa mendapat kamar single di Tune Hotel, hanya dengan harga 40 rebu saja. (Ulasan Tune hotel bisa diliat di tulisan gue tentang Bali. Klik di sini ya).

Awalnya, gue dkk akan menggunakan ferry untuk menuju Lombok. Jadi rutenya akan begini: Kuta-Padang Bai (pelabuhan di Bali)- Lembar (pelabuhan di Lombok). Tapi setelah diitung, ongkos bus Perama dari Bali-Lembar 150 rebu (termasuk tiket ferry Rp 35 rebu). Lama perjalanan Kuta-padang Bai kira-kira 2 jam, dan lama perjalanan Padang Bai-Lembar 4-5 jam. Total perjalanan 6-7 jam. Iseng-iseng gue nanya harga tiket ke twitter @tiketlombok dan dari mereka gue tau, penerbangan Lion Air Denpasar-Mataram hanya Rp 200.000 saja (plus airport tax 40 rebu) dan hanya butuh waktu 30 menit.

Setelah menimbang untung rugi, akhirnya kami memutuskan menggunakan pesawat aja. Selain lebih cepet, kami takut mabuk laut yang bisa membuat stamina drop. Kalo drop kan liburan selanjutnya jadi ga enak. Nah pulangnya, baru kami akan menggunakan ferry.

Di Bandara Ngurahrai, gue mengalami kejadian mengejutkan. Gempa!! Yup, setelah lama ga mengalami gempa, Bali mengalami gempa dengan skala 6,8 SR. Lumayan gede dan mengejutkan. Saat itu terjadi, gue lagi di WC. Awalnya gue pikir, goyangan itu karena ada pesawat mendarat atau lepas landas. Tapi kok goyangannya makin lama makin kenceng sampe-sampe gue susah berjalan. Begitu gue keluar dari WC, baru gue sadar itu gempa. Para penumpang (bule maupun lokal) yang lagi duduk tenang langsung lari dengan paniknya ke arah tangga yang menuju landasaan. Pramuniaga toko dengan cueknya meninggalkan toko dan barang dagangannya yang berjatuhan ke mana-mana. Keshie, temen perjalanan gue, juga ikutan panik (dan bingung juga sih karena koper gue kan gue titip di dia. Sampe sekarang kakinya sakit loh gara-gara terkilir pas lari).Karena rame banget, gue jadi ga bisa ke mana-mana. Alhasil, gue diem aja di depan pintu WC 😛

Lombok (Day 1)- Nginep di Senggigi

Ternyata, pesawat yang gue naiki adalah pesawat jenis foker alias pesawat yang masih pake baling-baling. Ngeliat ini, gue langsung jiper dan memutuskan: pulangnya gue naek kapal laut aja! Uff, untung cuaca saat itu lagi cerah secerah-cerahnya, ga ada awan dan angin sama sekali.

Jam 2 siang, kami mendarat di Lombok. Penerbangan di Lombok sekarang bukan lagi mendarat di Selaparang, melainkan di Bandara Internasional Lombok (BIL), yang baru diresmiin sebulan sebelum kedatangan gue. Bandaranya bergaya modern gitu, mirip terminal 3 Sukarno Hatta.

Sekeluarnya dari pintu kedatangan, gue melihat pemandangan yang unik. Ternyata, masyarakat di sana sangat antusias dengan bandara ini dan menjadikannya sebagai tempat wisata dan hiburan. Banyak banget masyarakat yang dateng dengan menumpang bak colt terbuka, termasuk anak-anak dan nenek-nenek. Mereka berkumpul di lobby yang seharusnya menjadi tempat menunggu mobil atau bus yang datang. Ada juga yang berkerumun di sekitar pagar, melihat pesawat yang mau lepas landas.

BIL ini letaknya memang lebih jauh dari Selaparang. Adanya lebih ke selatan, lebih deket ke arah Kuta dan sekitarnya. Tapi di sana ada Bus Damri, yang rutenya BIL-Senggigi dan BIL-Mataram (Terminal Mandalika). Harganya Rp 25.000 untuk ke Senggigi dan Rp 15.000 untuk ke Mataram. Kami memutuskan untuk menuju Senggigi aja karena di sanalah kami akan bermalam.

Sebelum pergi, gue sama sekali ga bikin rencana perjalanan atau apapun. Abisnya, gue harus mengejar 3 detlen sekaligus (masalah tipikal sebelum liburan). Alhasil, gue ga tau harus nginep di mana, mesti ke mana. Hehehe…bener2 go with the wind blow de..

Tapi untung, salah satu temen perjalanan gue, Fean telah browsing-browsing mengenai tempat yang mau dituju. Untuk urusan hotel, kami memutuskan untuk cari on the spot aja.

Senggigi

Sunset di Senggigi

Tujuan pertama kami adalah Senggigi. Selain ada bus damri dari bandara, tempat ini letaknya lebih dekat ke Gili. Yup, besok kami memang memutuskan untuk menuju Gili Trawangan. Di dalam bus, gue iseng bertanya tentang hotel murah di kawasan gili. Kenek menyarankan dan menurunkan kami di sebuah hotel yang gue lupa namanya. Aih, gila apa. Itukan hotel termahal di antara hotel lainnya. Gila emang tuh kenek.

Akhirnya setelah makan sambil brosing sana sini, kami menemukan hotel Ellen, yang letaknya enggak jauh dari tempat kami turun tadi. Hotel ini cukup nyaman, bersih, dan ga jauh dari pintu masuk umum pantai Senggigi. Harga Rp 100.000/kamar, termasuk sarapan pagi.

Setelah solat, kami berangkat menuju pantai untuk menikmati Sunset. Enggak seperti yang gue bayangkan, pantai ini biasa aja ya. Mirip pantai Kuta atau Sanur di Bali gitu deh, ga terlalu istimewa. Tapi ya namanya sunset, selalu indah di mana aja. Nah, setelah pulang gue baru tau ada tempat sunset lain yang lebih bagus yang letaknya ga terlalu jauh dari Senggigi, walaupun harus menaiki gunung mendaki lembah. Dengan kata lain.. ga jauh tapi naiiik terus. Namanya Pantai Nipah. Kami melewatinya besok hari ketika akan menuju Gili.

Telp Hotel Ellen: 0370-693077

Lombok (Day 2)- Menuju Gili Trawangan

Jam setengah tujuh, kami sudah keluar dari hotel dan bersiap menuju Bangsal, pelabuhan kapal Gili Trawangan. Sebenernya, pihak hotel menawarkan kami shuttle bus untuk menuju ke sana. Harganya Rp 50.000/org (sudah termasuk tiket kapal) dan berangkat jam 9 pagi. Tapi menurut gue dan kawan-kawan, jam 9 itu mah terlalu siang, dan harganya mahal. Gue dapet info, kalau naik taksi ke sana aja cuma kena biaya Rp 50.000-Rp 60.000 aja.

Saat nunggu taksi, ada bemo yang berhenti di depan kita dan nawarin charteran ke Bangsal seharga Rp 80.000. Ditawar setengahnya ga mau, mereka mentok di angka Rp 75.000 (itu mah kurangnya dikit banget). Kalau rombongan gue lebih dari 5, mungkin gue akan menggunakan itu. Tapi gue cuman bertiga, mending naik taksi deh. Adem, dan bisa lihat pemandangan di kanan kiri.

Pas nanya ke pak satpam di toko roti tempat kita beli roti, dia bilang mending naik bemo aja sebab naik taksi bisa ngabisin duit sampai 120.000. Weh, tapi kami tetep kekeh naik taksi. Kalau mahal, ya itung-itung pengalaman lah. Ternyata, taksi Senggigi-Bangsal hanya menghabiskan dana Rp 70.000 sodara-sodara!

Nyebrang ke Gili Trawangan

Taksi tiba di Bangsal, pelabuhan kecil untuk menyebrang ke Gili Trawangan. Pas gue sampe di sana jam 7.30, loket belum dibuka. Padahal menurut papan informasi yang tertera di sana, jadwal buka loket adalah jam 6. Ketika gue nanya ke pemilik perahu, mereka bilang loket buka jam 9. Mereka menyarankan untuk mencarter perahu saja, supaya lebih cepat. Jelas kami menolak. Certer perahu kan mahal, lagian gue cuman bertiga. Sebagai informasi, harga penyebrangan ke Gili Trawangan hanya Rp 10.000, ke Gili Meno Rp 9.000, dan ke Gili Air Rp 8.000. Satu perahu isinya 20 orang, dan kalau penumpang belum 20, kita mesti menunggu.

Setelah menunggu kurang lebih setengah jam, loket belum juga dibuka. Untung ada tukang perahu yang mau memberangkatkan perahunya karena penumpang sudah banyak. Akhirnya gue naik perahu itu, tanpa membeli tiket resmi di loket.

Ombaknya ternyata lumayan, bikin perahu goyang kanan goyang kiri. Untunglah gue ga muntah, padahal gue sempet takut muntah. Keshie, yang gue pikir perutnya lebih tahan daripada gue, duduk diem aja sambil megangin tasnya. Ternyata, doski mabuk laut oy.

Isi perahu ini lebih daripada seharusnya. Ditambah lagi dengan muatan belasan dus narmada (semacem aqua) yang pastinya berat banget. Ditambah lagi, semua penumpang ga dibekali pelampung. Ada sih pelampung, tapi di atap perahu dan ketutup jarring. Gue yakin, kebanyakan penumpang (termasuk gue sih) mikir, cukup ga pelampung itu buat kita semua dan gimana cara ngambil pelampung yang ada di atas atap itu :P.

Setengah jam kemudian, kami sampai di Gili Trawangan. Omaigud…kereeen abisss..

Lombok (day 3) — Gili Trawangan, Bener-Bener Paradise

Di perahu, kami bertemu dengan seorang ibu yang ikut rombongan puterinya dan teman-temannya. Dari dialah kami mendapat info penginapan yang murah meriah, namanya wisma hantu. (serem amat yak namanya).

Karena ga tau mesti nginep di mana, kami memutuskan ikut dengan ibu itu. Ternyata hanya ada satu kamar yang tersisa hingga akhirnya kami mencari lagi penginapan di sekitarnya. Untunglah, ga jauh dari situ ada Lili Homestay, yang masih punya kamar kosong. Setelah tawar-menawar, kami dapat harga Rp 90.000/kamar.

Dulu, ada anggapan, penginapan di Gili mahal-mahal. Emang sih, kalau yang bentuknya resor di tepi pantai pasti mahal lah. Nah, kalau mau yang murah macam penginapan gue ini, emang mesti masuk ke dalam-dalam. Tapi bagi gue ga masalah, kan cuma buat tidur aja.

Lily Homestay: 087865526139



Makan di Gili

Di buku yang pernah gue baca (yang dikirimin ke gue oleh salah satu penerbit), ditulis bahwa makanan di Gili mahal sehingga disarankan buat bawa bekel dari daratan. Haiyaa…

Ternyata enggak tuh. Gue menemukan beberapa warung yang murah meriah. Salah satunya warung Indonesia yang letaknya persis di sebelah Lili Homestay. Di sini ada menu prasmanan yang terdiri dari ayam, sayur, tempe dengan harga hanya Rp 10.000. Lebih murah dari makan di kantin Gramedia coba..

Selain Warung Indonesia, masih banyak warung lain yang jual makanan murah. Kebanyakan jual nasi campur, yakni nasi yang dicampur aneka lauk yang bikin kenyaang. Harganya berkisar Rp 10.000-Rp 20.000. Coba aja susuri bagian dalam, banyak kok warung nasi. Oya, di kapal pulang gue ketemuan dengan Pak Man, yang kabarnya punya warung nasi yang enak banget yang udah terkenal di mana-mana.

Bersepeda Keliling Gili

Untuk mengelili Gili, kami memutuskan menyewa sepeda aja. Harganya Rp 50.000 buat sehari penuh. Kalau cuma mau pakai jam-jaman juga bisa, harganya kalau ga salah Rp 15.000/dua jam.

Asyik banget bersepeda. Kalau mau berenti buat berenang atau snorkeling, tinggal senderin tuh sepeda di pohon, lalu nyebur de. Kami sangat menikmatinya…di awal.:P. Kok di awal? Simak deh cerita gue berikut.

Setelah puas berenang, snorkeling ngeliat ikan warna-warni, foto sana-sini, kami memutuskan untuk mengelilingi seluruh pulau Gili dengan sepeda. Setengah bagian pulau cukup menyenangkan, tapi setengahnya lagi, menyengsarakan. Jalannya berpasir, sepeda gue ga bisa lewat!!. Terpaksa mesti mendorong sepeda di tengah panasnya matahari Gili. Ampuuun deh. Ditambah lagi, bagian belakang Gili itu bukan daerah komersil yang banyak penginapan. Isinya hanya semak belukar dan pantainya penuh karang. Jadi gue saranin, kalau udah menemukan jalan berpasir, puter balik aja deh.

Gara-gara maksa bersepeda muterin Gili, gue dan keshie tepar banget. Alhasil, kita ketinggalan sunset yang katanya adalah sunset terindah ke-8 di dunia. Huaaaa…

Eh, ketinggalan sunset ini juga disebabkan banyak hal sih. Pertama, ban sepeda keshie kempes dan harus pompa. Pompa milik si penyewaan sepeda rusak, jadi terpaksa harus nyari pompa baru. Kedua, pas gue nanya arah mana kalau mau lihat sunset, 4 orang yang ada di situ menunjuk ke 4 arah yang berbeda, sambil berdebat satu dengan lainnya. Tobaat..

Oiya, sebenarnya di gili ini banyak banget spot bagus buat foto. Salah satunya adalah gazebo di seberang Villa Ombak. Gazebonya dari kayu, dihiasi dengan kain warna pink. Di sebelahnya ada perahu yang semang sengaja ditaro di situ. Sayangnya, gue ga sempet foto di situ. Sebenernya pas naik sepeda tadi gue ngelewatin tempat itu, tapi berhubung Fean buru-buru ingin menghampiri orang yang menemukan hape-nya, kami jadi buru-buru. Yaah..

Oya lagi, selain Gili Trawangan, ada pula GIli Meno dan Gili Air. Kedua tempat ini letaknya ga jauh dari Trawangan. Kabarnya sih, tempatnya bagus juga tapi ga seramai Trawangan. Kalau ingin ke sana, bisa menyewa perahu dari Trawangan.

Lombok (day 4) — Kembali ke Mataram

Setelah menghabiskan malam di Gili, esok pagi kami kembali ke daratan. Biar ombak ga terlalu gede, kami memutuskan naik perahu paling pagi, yakni perahu jam 8. Tapi ternyata, ombaknya jauuh lebih gede dari kemarin, dan pelampungnya lebih sedikit! Untung kali ini, kami bertemu Pak Man, orang Jawa yang punya usaha rumah makan di Gili. Berkat lelucon dari Beliau, perjalanan terasa cepat.
Di Bangsal, gue dkk udah dijemput rental mobil. Rental cukup murah, untuk avanza harganya Rp 250.000/ hari (tanpa supir dan bensin). Ga tau deh emang harganya segini atau ini harga khusus, karena yang punya rental ini kakaknya temen gue. Tapi dari hasil browsing sana-sini, gue menemukan bahwa rental mobil di sini rata-rata Rp 350.000 (avanza). Lebih mahal dari rental di Bali ya?
Karena Fean bisa nyetir, kami memutuskan untuk sewa mobil tanpa supir.  Gampang kok ternyata jalan sendiri di Lombok. Kotanya kecil, petunjuk jalannya jelas, dan penduduknya enak untuk ditanyai. Oya, sebelum gue sampe Lombok, banyak yang mewanti-wanti gue dua hal. Pertama, penduduk di sini kasar-kasar, ga ramah, mata duitan. Kedua, hati-hati nyetir sendiri karena banyak orang jahat yang suka malak di jalan.
Alhamdulillah, kami enggak menemukan kedua hal itu sama sekali. Malah bisa gue bilang, orang Lombok baik-baik. Banyak banget yang mau ditanyain jalan, bahkan ada satu orang yang lagi rela memutuskan pembicaraannya lewat telepon karena ingin menjawab pertanyaan gue.
Rental Mobil: Mbak Windy (081917904080)

Mataram City Tour
Setelah dari Gili, gue dkk city tour di Mataram aja. Capek juga liat laut dan berenang mulu. Karenanya kami mencari penginapan di Mataram aja, biar enggak terlalu capek. Dari hasil rujukan nyokap (yang ngambil brosur hotel ini di rumah tetangga), gue dkk pergi ke Hotel Wisma Nusantara 2.
Ternyata rujukan nyokap ga salah. Hotel ini letaknya dekat banget dengan Mal Mataram, satu-satunya mal yang ada di sana. Artinya, hotel ini letaknya tepat di tengah kota Mataram. Selain itu, harganya murah. Ada kamar yang harganya Rp 50.000- Rp 300.000/malam.
Fean ambil kamar yang harganya Rp 50.000 (pakai kipas angin dan kamar mandinya ga pake shower). Gue juga pengen ambil itu, tapi ternyata udah abis. Alhasil gue ambil kamar yang Rp 80.000, dengan AC model kuno, kamar mandi pake shower. Lumayan banget, kan??
Ga mau berlama-lama di hotel, kami segera meluncur ke beberapa tempat di Mataram. Yang pertama di datangi adalah Pura Jaganatha Mayura, yang terletak hanya 10 menit dari hotel. Pura ini ga terlalu bagus menurut gue, kotor dan enggak terawat. Sebenernya di depan Pura ini ada Pura Meru, Pura terbesar di Mataram. Tapi entah mengapa, gue males ke sana.
Setelah itu, lawatan dilanjutkan ke Pura Lingsar, yang letaknya kurang lebih ½ jam dari kota. Pura ini menjadi terkenal karena di sana terdapat ikan tuna sakti, yang konon enggak pernah mati dan jumlahnya tetap. Untuk melihat ikan tuna ini, harus pakai pawang dan membeli telur asin untuk memancing ikan keluar. Sama seperti Pura Mayura, pura ini kondisinya enggak terawat baik. Sayang banget..
Gak jauh dari Lingsar, terdapat Taman Narmada. Di sini terdapat mata air abadi yang konon bisa membuat awet muda. Saking terkenalnya mata air ini, ada merek air kemasan lokal yang memakai nama ini. Dibanding semua tempat yang gue kunjungi tadi, Narmada ini paling rapi dan terawat. Oya, rata-rata pura di sini enggak mematok harga khusus untuk masuk. Mereka hanya menyediakan kotak untuk tempat memasukkan uang seikhlasnya.
Karena hari masih sore, kami memutuskan untuk mampir ke Ampenan, sebuah kota pelabuhan tua. Di sini, kita bisa melihat sunset sambil mengamati nelayan-nelayan lokal melaut. Di sore hari, tempat ini dipenuhi penduduk lokal. Tapi jangan mengharap tempat ini bagus ya, namanya juga perkampungan nelayan.  Kabarnya, di Ampenan ini ada restoran seafood yang enak. Tapi kami gak nemu tuh!
Malamnya kami melebur dengan anak muda Mataram, yang nongkrong di Jalan Udayana.  Kalau malam minggu, pinggir jalan ini rame banget sama anak muda yang nongkrong sambil makan. Yap, di siniemang terkenal sebagai pusat kuliner malam minggunya Mataram. Puluhan gerobak makanan menjual dagangannya di sini. Tapi sayangnya, makannya hanya 3 macem: sate babulak (sate khas Lombok), jagung bakar, dan minuman instan.  
Wisma Nusantara 2: Jl. Beo 10, Cakranegara, Lombok

Lombok (day 5) — Menyusuri Lombok Selatan

Hari terakhir di Lombok kami gunakan untuk menyusuri bagian Selatan Lombok. Yang pertama dikunjungi adalah Desa Sade, desa adat Lombok yang masih dipertahankan sampai sekarang. Bangunannya masih asli, dan beberapa rumah lantai dan dindingnya masih dibangun dari kotoran sapi. Yaik..

Di desa Sade ini, hampir seluruh rumahnya menjajakan kain khas mereka. Kalau mau beli, tawarlah setega mungkin, karena mereka ngasih penawaran yang gila. Katanya nih, makin dalem letak itu rumah, harganya makin murah. Kata mereka sih, kain itu hasil tenunan mereka sendiri. Tapi sepertinya engga bener, karena ternyata kain yang sama dijual juga oleh pedagang kaki lima di Pantai Kuta, dengan harga separohnya!

Desa Sade ini terletak di jalan menuju Pantai Kuta. Jadi setelah itu, kami menuju Pantai Kuta yang kini udah berganti nama menjadi Pantai Mandalika (biar ga sama namanya dengan di Bali). Pantai ini ternyata baguuus banget. Pasirnya putih, lautnya biru. Kebanyakan yang dateng ke sini adalah warga lokal, walaupun ada beberapa bule yang berjemur dan berselancar.

Tujuan selanjutnya adalah Tanjung Aan, yang terletak satu garis dengan pantai Kuta. Tanjung Aan ini sama bagusnya dengan Kuta, tapi uniknya pasir di sini butirannya besar, mirip dengan merica. Gue tadinya udah ngumpulin buat dibawa pulang, tapi di tengah jalan gue buang karena ga muat di ransel gue.

Dari situ, sebenernya kami ingin mengunjungi Tanjung Ringgit. Tapi kata guide yang kebetulan kami temui di warung makan, tempat itu enggak terlalu bagus. Dia menyarankan kami ke pantai ??, yang konon ombaknya mirip dengan ombak di Hawai. Saran lainnya adalah mengunjungi air terjun Kelambu Snokel. Karena bosen ngeliat pantai, akhirnya kami mengunjungi sarannya yang terakhir. Sebenernya gue ga suka ama air terjun sih, karena sampai sekarang belum menemukan di mana letak indahnya air terjun. Tapi berhubung Fean nampaknya pengen banget ke sana (tiap hari nanya tentang air terjun), kami memutuskan untuk ke sana aja.

Ternyata oh ternyata, air terjun ini jauuuuh banget. Setelah nyasar sana-sini, akhirnya kami sampai juga di air terjun yang pertama. Menurut gue, air terjun ini sama aja ama air terjun lainnya. Tapi menurut Fean, yang doyan banget ama air terjun, air terjunnya bagus banget. Kalo kata si guide sih, yang lebih bagus itu air terjun yang di atasnya lagi. Tapi…untuk menuju ke sana, harus naik sekitar 5 km lagi. Oh…jelas-jelas gue menolak. Ditambah lagi, saat itu habis hujan sehingga jalannya licin.

Oya, selain pantai ?? , si guide juga menceritakan tentang Gili Nanggu, sebuah pulau yang ada di dekat pelabuhan Lembar (area Lombok Barat). Katanya, tempat ini ga kalah indahnya dengan Trawangan, dan masih sepi…

Lombok (Day 6) — Kembali ke Bali naik Ferry

Malamnya kami kembali menuju Bali dengan menggunakan ferry. Ferry berangkat dari pelabuhan Lembar, kira-kira 1 jam dari Mataram. Kami sengaja mengambil ferry yang malam agar bisa tidur (baca: biar enggak mabok). Harga ferry 35.000/orang, dan bisa dibeli di loket pintu masuk. Banyak calo yang nawarin tiket, tapi cuekin aja, karena harganya sama juga.
Ferry menuju Padang Bai di Bali ada setiap satu jam sekali. Lama perjalanan kurang lebih 4-5 jam, tergantung kondisi cuaca. Kalau mau tidur, bisa menyewa kamar yang disediakan ABK. Kamarnya bervariasi, tergantung besar ferry-nya. Gue dapet kamar yang bisa diisi 3 orang dengan harga Rp 100.00/kamar. Keluarga yang gue temui di Gili kemaren dapet kamar yang bisa diisi 4 orang, harganya juga Rp 100.000. Selain bisa tidur, di sini juga bisa mandi dan nyuci (kalau sempet), menggunakan fasilitas yang dimiliki para ABK.

Sebenernya, jam 10 kami udah sampai di Lembar. Tapi pak supir yang akan mengambil mobil belom sampai juga. Setelah kapal berangkat, sopir baru datang. Ferry selanjutnya datang jam 11, tapi ternyata ini adalah ferry yang lebih kecil tanpa kamar di dalamnya. Terpaksa kami menunggu ferry selanjutnya datang.

Entah berapa lama ferry ini berjalan dan bagaimana cuaca di laut tadi. Yang jelas gue terbangun ketika ferry udah bersandar di dermaga. Sampai juga kami di Bali!!

Padang Bai

Padang Bai adalah pelabuhan Ferry di Bali. Gue sampai di sana sebelum subuh, sehingga gue dkk memutuskan untuk menunggu hingga matahari nongol. Untung di sana ada sebuah musala yang lumayan besar yang bisa jadi tempat nunggu (dan tempat mandi juga).
Awalnya gue menyarankan untuk tinggal di Candidasa, yang jaraknya hanay 10 menit dari Padang Bai. Tapi ternyata Mbak Nuri, kenalan Fe dan Kc yang akan mengantar kami di Bali, tinggal di daerah Sanur. Karenanya, kami berganti haluan menuju Sanur.
Yang jadi pertanyaan kami adalah, dari Padang Bai ke Sanur naik apa? Sebenernya pas di Lombok gue udah menelpon Perama, salah satu perusahaan yang menyediakan shuttle bus di Bali dan Lombok. Mereka punya loket di Padang Bai, ga jauh dari pintu keluar. Tapi mereka baru buka jam 8 pagi. Alternatif lainnya adalah naik omprengan yang didayakan oleh masyarakat lokal. Omprengan ini tujuannya terminal Batubulan di Denpasar, dengan harga Rp 50.000/orang. Berhubung gue mau ke Sanur, mereka minta tambahan lagi karena menurutnya jaraknya lebih jauh. Untung gue bersikeras ga mau, karena ternyata Sanur itu letaknya sebelum Denpasar. Uhhh…

PS: kalau emang ga dikejar waktu, mending naik Perama aja. Hati lebih tenang…:p